Langsung ke konten utama

Tembok Perasaan

Disuatu malam yang sunyi, terjadi perdebatan sepasang kekasih tentang pertemuan mereka pekan lalu. Saat itu jaman belum berkembang, komunikasi arak jauh hanya mengandalkan surat dan pos.
Mereka sudah merencanakan pertemuan tersebut. Ternyata pertemuan tersebut tidak sesuai rencana. Dengan dugaan masing masing, akhirnya mereka memutuskan tidak saling menghubungi.
Seminggu setelah waktu kesepakatan pertemuan tersebut, mereka tidak sengaja bertemu di pasar malam. Lalu membahas perihal pertemuan itu.


Tuan: Dimanakah dirimu? Saya sudah berada di perhentian yang kita sepakati kemarin..

Adakah kamu melupakan itu??

Puan: Persis di hari yg telah kita sepakati, aku menunggumu disana. 

Lama sekali. Setelah aku lelah menunggumu, baru kau tanyakan itu. 
Kau ada niat tidak menemuiku?

Tuan: Aku kesana 5 menit lebih lama dari kesepakatan kita,
Mungkin kamu tidak tahu, aku sempatkan diri singgah membeli bunga kesukaanmu..

Tapi, entahlah,
Mungkin 5 menit terlalu lama bagimu untuk tetap menunggu..
Sehingga kemudian kamu memilih dia sebagai pengganti jalanku menemani harimu..


Puan: Satu setengah jam sudah ku menunggumu disana. 

30 menit lebih cepat aku telah sampai dengan was was memperkirakan hujan akan turun nantinya. Ternyata hujan dari pelupuk mataku yang jatuh setelah kumenunggu ditemani mendung.
Lantas dimana kau saat itu? 5 menit yang kau katakan itu menurut waktu planet mana? Masih samakah waktu yang ada di pergelangan tangan kita?

Dia? Siapa yg kau maksud? Aku masih disini dengan kekosongan hati. Berharap ada yang benar benar tepat waktu menemuiku nantinya


Tuan: Cukup sandiwaramu Jumintem...
Aku tau kau memilih pergi dengan dia yang sudah lama kau sembunyikan di belakang pundakmu...
Bunga yang segar ku genggam perlahan menjelma menjadi layu tak bernyawa..
Bahkan hujan sengaja mengejekku dengan tetesan rinainya dan bermain dengan tubuhku yang mulai kuyup....
Dingin yang menyengat perlahan menertawakanku...

Tapi adakah itu mempengaruhiku..?
Aku masih disini, ditempat yang sama dan dengan rasa yang sama untukmu...

Dan bila nanti kau memilih untuk tidak kembali..
Maka biarkan jari kelingking kita yang pernah berikrar setia menjadi kenangan ...
Jangan lupa memberitahuku jika kau sudah tersenyum bersamanya..
Karena dengan begitu aku tau, Tuhan kita telah mendengarkan doaku..


Puan: Sudahlah ferguso. Kau tak mencintaiku lagi kan sehingga mengatakan hal itu untuk menyudutkan ku? Sudah kuduga. Dia yang kau maksud saja aku tak tau. 

Bunga? Kau tau kan aku alergi dengan bunga? Apalagi dengan cerita khayalanmu itu.
Kalau kau memang tak memiliki rasa lagi, pergilah. Kurelakan kau mencari penggantiku. Dan biarkan aku menikmati kekosongan hatiku.
Biar saja jari kelingking itu menjadi saksi cerita cinta kita.
Pergilah cinta. Hati hati selama diperjalananmu karna ditengah jalanmu kau pasti akan semakin lebih sering mengingatku. Tapi biarlah, karna ini semua cerita palsumu untuk meninabobokkan ku dalam perasaan merasa bersalah.


Dan mereka tetap dengan keegoisan perasaan yang berakhir pisah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[REVIEW BUKU: LAUT BERCERITA]

NOVEL: Laut Bercerita  Sumber: dokumen pribadi IDENTITAS BUKU Judul: Laut Bercerita Penulis: Leila S. Chudori Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Tahun terbit: Cetakan Ketujuhbelas, Agustus 2021 Jumlah halaman: x + 379 halaman   REVIEW Ini adalah kali pertama saya membuat review buku. Sudah ada beberapa buku yang sudah saya baca, namun rasanya kurang nendang kalau hasil yang dibaca tidak turut dibagikan ke teman teman lain. Maka kali ini, ijinkan saya membagikan hasil review saya. Laut Bercerita mengisahkan tentang perjuangan para mahasiswa dan aktivis yang menuntut hak hak demokrasi di masa Orde Baru. Tokoh utama dalam novel ini adalah Biru Laut Wibisono, seorang mahasiswa Sastra Inggris di Yogyakarta yang turut bergabung dalam organisasi mahasiswa yaitu Winatra yang memihak pada masyarakat kecil dan terpinggir. Novel ini di sajikan dengan dua sudut padang, sudut pandang Biru Laut dan sudut pandang Asmara Jati, adiknya Biru Laut. _________________...

Si penggoda tak kalah ikutan

Aku suka tanda lahirmu Disakiti tidak berubah Di cubit tidak meringis Di colek tidak merah Apalagi dikecup Tidak protes ia Aku suka pemiliknya itu adalah kamu Tiap perjumpaan selalu kutatap Setiap aku mengecupmu Tak lupa juga dia Jangan iri Aku hanya ingin mengecupmu Tapi dia juga ingin Ah dasar tai Selalu saja ikutan Dasar tai lalat penggoda.

Penikmat Senyum

Aku setuju Aku mengaku terpikat Pada sosok pemilik senyum itu Senyum disertai kumis tipis Sosok yang membuatku terlena Hey tuan Maafkan aku Aku telah mencuri milikmu Milikmu yang tak bisa kumiliki Seutuhnya Sejak lalu Mata ini selalu tertuju padamu Tak berbuah pengharapan Menatap dari jauh Hanya pengagum Padamu kukirimkan salam Lewat semilir angin Entah sampai padamu atau tidak Pastinya sudah kuungkapkan

Tabung Rindu

Di sudut kamar ini Ditemani bayang bayang sepi Kau muncul begitu saja di otakku Mengisi kekosongan di malam ini Di sudut kamar ini Kita bercerita Tentang hari hari yang telah di lewati Tentang kekonyolan Tentang hidupmu Tentang impianmu Tentang kita Ingin rasanya kembali kumemutar waktu Waktu kau masih milikku Waktu kau masih tempat galaksi ku Waktu kau di sudut kamar ini Waktu kita bersama Sudah dua caturwulan kau tak bisa kulihat Tak bisa lagi kulihat miliaran galaksiku Tak bisa lagi kulihat wajah konyolmu Tak bisa lagi aku menangis di pundakmu Saat ini Perpisahan ini menyakitkan Sudah suatu keharusan Bukan keputusanmu Bukan keputusanku Rindu beda alam Beban di hati Tak bisa di tuntaskan Harus menabung rindu Untuk dibuka bersama Di alam yang sama

"Maaf Sudah Rindu", katamu

"Maaf sudah rindu" Isi pesanmu saat itu Di tengah malam sebelum terlelap Seketika lenyap rasa kantukku Gundah Sengaja kubiarkan pesanmu Biar menguap Melayang Terukir di udara Kelak jika aku merindukanmu Kuukir di udara Kutitipkan pada angin Lalu abadi Mengangkasa Diantara kita Terimakasih sudah merindukanku, tuan

Redup

Pandanganku sebatas tembok Kututup mata Gelap menghampiri Otak lelah berpikir Mata sayu tak kunjung lelah Nyamuk mulai mencicipi darahku Bosan Tak sadar kusudah menulis sebait puisi ini -Perumnas Mandala;Medan, 23 April 2020 2:42

Tunggu Aku

Di sudut kamar ini Ditemani bayang bayang sepi Kau muncul begitu saja di otakku Mengisi kekosongan di malam ini Teringatku Di sudut kamar ini Kita bercerita Tentang hari hari yang telah di lewati Tentang kekonyolan Tentang hidupmu Tentang impianmu Tentang kita Ingin rasanya kembali kumemutar waktu Waktu kau masih milikku Waktu kau masih tempat galaksi ku Waktu kau di sudut kamar ini Waktu kita bersama Sudah dua caturwulan kau tak bisa kulihat Tak bisa lagi kulihat miliaran galaksiku Tak bisa lagi kulihat wajah konyolmu Tak bisa lagi aku menangis di pundakmu Saat ini Perpisahan ini menyakitkan Sudah suatu keharusan Bukan keputusanmu Bukan keputusanku Rindu beda alam Beban di hati Tak bisa di tuntaskan Harus menabung rindu Untuk dibuka bersama Di alam yang sama Tuan, tunggu aku disana.

Flash Blogging Medan

Flash Blogging. Tema: 4 Tahun Indonesia Kreatif. Di pagi bulan Desember yang mendung, dengan semangat ku awali hariku dengan mengikuti acara. Yang biasanya tidak pernah bangun sepagi ini, inilah hari perdana bangun sepagi ini di bulan Desember. Walau rintik hujan sempat menetes, tetapi itu tidak menggodaku untuk kembali tidur. Acara Flash Blogging yang diadakan oleh Kominfo dilaksanakn di Grand Aston Hotel. Setiba di lokasi, dilakukan pendaftaran dan disambut dengan sarapan dan kopi yang nikmat. Sambil menikmati sarapan, acara Flash Blogging dibawa oleh MC cantik yang super semangat. Sebelum acara di buka, semua peserta menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Kemudian setelah itu dibuka oleh ibu Farida Dewi Maharani yang merupukan Plt. Kasubdit Media Cetak Kominfo. Didalam pembukaan, ada yang kutipan yang menarik dari beliau yaitu "Maju itu pilihan, bukan paksaan." Dimana kita sebagai bangsa Indonesia sebaionya menggunakan potensi potensi negara sebaik mungkin. A...

Petualang Hijau

Merah kuning biru Warna api Api komporku Hidup menyala Berkobar berani Hijau menyendiri Tinggalkan mereka Lalu melalang buana Menuju kota Tak rasa aman Menepi ke pantai Awal nyaman akhir merana Panas Merasa tak cocok Lama berjalan Tak capek mencari temu Tempat teduh Jumpa jua Jauh dari kota Jauh dari pantai Berteman primata Dingin sejuk Aman tentram

Hey, anjing.

Hey anjing Pernahkah terlintas dipikiranmu untuk menjadi manusia? Pernahkah kau merasa iri dengan segala kepiawaian manusia? Pernahkah kau ingin berlagak seperti manusia? Ah kutanya pun, kau tak akan bisa menjawab Hey, anjing Dengarkan aku Aku pernah ingin menjadi sepertimu, anjing Aku pernah merasa iri  Makan, tidur, menggonggong Tidak pernah memikirkan usaha Tak pernah mendengar cacian Tak perlu membungkam cerita mereka Tak perlu bertindak untuk menyenangkan mereka Setelah kusadari, ada manusia yang di cap dengan namamu, anjing Mereka dipanggil bukan karena kebodoamatan mu Melainkan karna mulut mereka yang terus berbunyi seperti gonggonganmu Ya sudah  anjing Cukup disini ceritaku Setelah kupikir, aku tak ingin menjadi sepertimu Biar aku menjadi diriku dengan ketiadabatas khayal  ini. -Duri, 1 4 Agustus 2 020. 22: 2 8